Wednesday, September 27, 2017

Mengenal Munir Said Thalib, Dibunuh Karena Benar

Mengenang Alm. Munir Said Thalib

( 8 Desember 1965 – 26 September 2017)

Mengenal Munir Said Thalib, Dibunuh Karena Benar
Munir Said Thalib
Hello good millennial, jumpa lagi di blogger joeshapictures tema hari ini adalah tentang "Mengenal Munir Said Thalib, Dibunuh Karena Benar" penasaran, yuk kita baca !

Munir dibunuh karena benar. Dia menjadi ikon penegakan HAM di negara ini. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang ditangani Munir antara lain kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta (1997-1998), pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok (1984 hingga 1998), penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi I dan II (1998-1999), anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur (1999), penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku dan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua saat memimpin Kontras.

Dia juga menangani kasus pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur (1993), kasus subversif Sri Bintang Pamungkas, Mochtar Pakpahan, Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, dan Sholeh. Munir juga mengadvokasi mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus kerusuhan PT Chief Samsung (1995) dan nasib 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa Timur (1993).

Mantan Presiden Abdurahman Wahid (almarhum) dalam buku berjudul: Keberanian Bernama Munir, Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir, karya Meicky Shoreamanis Panggabean, Mizan, 2008, mengenal Munir sebagai sosok pemberani dalam memperjuangkan HAM. Bagi Gus Dur, sapaan Abdurahman Wahid, Munir yang lahir di Batu, Malang itu telah menjadi kekayaan bangsa. “Sekian tahun lamanya, ia mengisi hidup dengan perjuangan menegakkan HAM di negeri kita,” jelas Gus Dur.

Apapun bahaya yang mengancam dirinya, dia akan tetap melanjutkan perjuangannya. Inilah yang tidak setiap orang mampu melakukannya, termasuk saya,” ujar Gus Dur mengenang Munir.

Pejuang HAM (Munir Said Thalib)

Sejak tahun 1988, Munir mengabdikan dirinya sebagai pejuang HAM. Kala itu, dirinya masih kuliah di Semester Lima. Sejak kecil dirinya tidak suka dengan kekerasan. “Aku udah enggak respect sama penindas dari kecil,” katanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang militan. “Aku sangat konservatif.

Paradigma berpikir dan bertindaknya berubah saat mengenal sosok demonstran bernama Bambang Sugianto. “Dia paling senang ngajak aku debat. Akhirnya, mulailah aku baca-baca bukum, mulai keluar dari mainstream.

Munir pun tertarik memperjuangkan nasib buruh setelah membaca buku Arief Budiman tentang Revolusi Buruh di Cile. “Nah, sejak itu aku kepengin ngurus buruh,” kenang Munir. 16 April 1996, Munir mendirikan Kontras. Ia makin agresif berhadapan dengan penguasa Orde Baru demi kemajuan HAM. Dia melawan militer saat kasus penculikan aktivis mahasiswa yang dilakukan Tim Mawar dari Kopassus yang kala itu dipimpin oleh Prabowo Subianto. Munir juga mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial. Keberanian memperjuangkan HAM diyakini menjadi latarbelakang pembunuhan Munir. Dia diracun saat akan menempuh pendidikan ke Belanda.

6 September 2004 lalu adalah hari terakhir bagi Munir menginjakan kakinya di tanah air. Dia meninggalkan Suciwati, isteri yang telah mendampinginya sembilan tahun lamanya. Munir juga meninggalkan dua anaknya yang masih kecil. Di Bandara Soekarno-Hatta, mereka berpisah. Munir berangkat ke Belanda, untuk melanjutkan studi magister bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht. Dia terbang dengan pesawat Boeing 747-400 Garuda Indonesia. Saat di pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa disapa Polly. Adalah Brahmanie Hastawati, saksi yang melihat Polly berinteraksi dengan Munir.

Setelah satu jam 38 menit perjalanan ditempuh, pesawat singgah sementara di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Para penumpang diberi kesempatan untuk jalan-jalan sejenak di bandara tersebut. Munir menanti di ruang tunggu Gate D42. Ada saksi yang melihat Munir duduk di sofa Coffee Bean dan mengobrol dengan Pollycarpus serta Ongen Latuihamallo, sambil menikmati minuman.

Saat pesawat akan kembali melanjutkan perjalanannya, Munir bertemu dengan seorang dokter bernama Tarmizi. “Anda Pak Munir, ya?” "Iya, Pak,“ jawab Munir.” “Saya dr Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak Munir ngapain ke Belanda?” “Saya mau belajar, mau nge-charge satu tahun,‘ jawab Munir.” “Di mana?” tanya Tarmizi. “Ultrech,” balas Munir.

Singkat kisah, tiba-tiba Munir kesakitan di perutnya. “Saya sudah buang-buang air, pakai muntah juga,” ujarnya kepada Tarmizi. Dia meminta pramugari membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam. Lima menit setelah itu, Munir ke toilet. Tarmizi melihatnya muntah, dengan warna bening dan tidak mengeluarkan bau. Tarmizi memapahnya ke tempat duduk. Dua jam kemudian, Munir kembali ke toilet. Madjib curiga karena cukup lama Munir di Toilet. Lalu, dia melongok lewat celah dan mengetuk pintu toilet itu. Tidak ada respons. Madjib memberanikan diri masuk toilet. Dan, dia terkejut melihat Munir terkulai tak berdaya.

Tarmizi lalu menyuntikannya diazepam, 5 mg dibahu kanan. Munir tetap muntah-muntah dan buang air. Munir lalu tertidur. Sekitar 12.10 WIB, ketika sarapan, Madjib yang mendatangi kursi Munir terkejut melihat Munir mengeluarkan air liur tidak berbusa. Telapak tangannya membiru dan terasa dingin. Munir sudah meninggal dunia. Dua jam kemudian, pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Karena menemukan adanya keanehan, Departemen Kehakiman Belanda melakukan otopsi terhadap jenazahnya. Dalam tubuh Munir ternyata ditemukan zat arsenik yang melampaui batas kewajaran.

Kematian Munir

Kematian Munir hingga kini masih misterius. Baru Pollycarpus dan Indra Setiawan yang divonis bersalah atas pembunuhan Munir. Aparat tidak mampu mengusut keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN). “Padahal, polisi sudah menahan mantan petinggi BIN dan militer yakni Muchdi Purwopranjono," kata Usman Hamid. Ironisnya, 31 Desember 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Muchdi dalam perkara pembunuhan Munir karena dianggap tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan.

Perjuangannya memajukan HAM menuai penghargaan. Di tahun 1998, Munir meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (1998). Dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000) dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Majalah Asiaweek (1999) juga menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia di milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).

Saat acara mengenang tujuh tahun pembunuhan Munir di Kantor Kontras, sejumlah tokoh mengusulkan agar Munir ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Sejarawan Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai, Munir layak menjadi pahlawan karena keberanian yang besar dalam menegakkan HAM. Gelar pahlawan Munir akan membakar semangat munculnya Munir lainya.

Baca Juga :

Terima kasih sudah membaca semoga apa yang kita baca hari ini bisa bermanfaat bagi kita semua, sebelum meninggalkan blogger joeshapictures sebaiknya di share dulu, apa yang kita dapat hari ini ada baiknya jika kita membagikan pengetahuan kepada orang lain. Sampai jumpa di artikel selanjutnya . . .

0 komentar: